“Bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tapi kehidupanlah yang menentukan kesadaran” kutipan kata dari sebuah karya yang terkenal Karl Marx dan Frederick Angels The Germany (1845-6).
Bencana alam yang terjadi di negeri ini merupakan suatu kenyataan pahit bahwa begitu terlenanya manusia dengan kerakusannya. Kelestarian alam disepelekan demi sebuah kepentingan. Pabrik-pabrik, gedung pencakar langit, menjadi pengganti pohon-pohon yang dulu sangat hijau dipandang. Perusahaan-perusahaan pertambangan dengan luas ribuan bahkan jutaan hektar mengeruk perut bumi. Exploitasi, explorasi dan produksi besar-besaran. Persetan dengan kelestarian alam toh para penguasa dan pemberi tanda tangan dalam kontrak karya berpesta dan bangga dengan adanya bencana karena kucuran pinjaman luar negeri akan datang. Saldo rekeningnya akan bertambah dengan meminjam nama rakyat.
Lalu kemudian kenapa Tuhan menjadi tempat untuk mengadu? Siapa yang harus bertanggungjawab? Saling tuding menuding mewarnai media massa, sementara itu rakyat bingung. Penyakit datang dengan berbagai jenisnya. Demam berdarah, flu burung, kelaparan, penjarahan menjadi hal yang biasa kita lihat di televisi. Maka nasi aking menjadi solusi dikala harga beras melonjak naik karena bencana demi mempertahankan nyawanya. Jeritan tangis anak negeri menjadi tontonan yang menyedihkan. Akhirnya bapak tua itu berargument “hanya kepada Tuhan kita menyerahkan diri, lepas kesalmu, lepas tuntutanmu, ini semua sudah diatur sama yang diatas”. Allahu ‘alam bisshawab !!!
Di dalam gedung terdengar orang sikut-sikutan rebutan proyek, tenang bencana banyak, tsunami, gempa, banjir, longsor, angin puting beliung, lumpur, tenang aja kita bagi-bagi, teknisnya kita ajak para tokoh agama, tokoh masyarakat, kita libatkan mahasiswa, LSM dalam pembangunan supaya rakyat sudah merasa terwakili. Wakil rakyat (DPR) kita beri mereka tunjangan komunikasi (RAPELAN) supaya mereka bungkam dan pasti akan seperti anjing menjilat pantatku karena aku yang memberi mereka makan.
Seberapa lamakah kita terima sistem negara seperti ini, pemerintah dengan slogan orang bijak taat pajak adalah pembodohan belaka tanpa ada timbal baliknya karena rakyat tidak dapat subsidi yang layak. Bencana alam yang terjadi adalah dampak dari sistem ecodevelopmentalism yang diterapkan oleh pemerintah sejak kediktatoran orde baru dimana alam diexploitasi hanya untuk pembangunan semata tanpa menjaga kelestariannya. Belum lagi kalau kita bicara tentang ekosistem yang sudah parah, jangankan itu hutan lindung yang seharusnya dijaga ekosistemnya malah menjadi lahan pertambangan contohnya Newmont Nusa Tenggara yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, sebuah perusahaan raksasa dari negeri kapitalis Amerika adalah perusahaan tambang terkemuka di Indonesia. Memperoleh konsesi kontrak karya seluas 1.127.134 hektar dengan hasil produksi 948,635 triliun per tahun. PT Freefort Indonesia yang berlokasi di Papua dengan luas 2.102.950 hektar (catatan jaringan advokasi tambang)
Sudah bijaksanakah kita? ketika bencana kita anggap sebuah takdir yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh sang pencipta? Sedikit tidak marilah respect sejenak melihat praktek-praktek pembangunan yang dijalankan pada masa penjajahan orde baru. Tahun 1967 mengeluarkan UU PMA (Undang-Undang Penanaman Modal Asing) tecatat modal asing yang masuk 953,7 juta US $. Dilegitimasi lebih kuat lagi oleh Undang-Undang No 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan dan peraturan pelaksanaannya. Konsep dan praktek ini juga mengakibatkan 2,5 juta hektar mengalami kerusakan pertahunnya. Pembalakan hutan dimana-mana tanpa ada kompensasi bagi hutan itu sendiri.
Penguasa benar-benar menampilkan watak sebagai agen kapitalis internasional tanpa mempedulikan masa depan rakyatnya dan sama sekali tidak mesmperdulikan kondisi lingkungan hidup yang tengah mengalami kehancuran. Hal ini terlihat dari bagaimana para penguasa negeri mengeluarkan ijin pertambangan dan yang lebih parah lagi sebagian besar ijin tersebut beroprasi di kawasan hutan lindung. Padahal jika dihitung kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian negara sangatlah rendah. Nilai yang tidak sebanding dengan bencana yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, hutan, krisis air, dan pelangaran HAM yang ditimbulkan akibat keberadaan pertambangan.
Karena inilah yang merupakan landasan terjadinya bencana dimana-mana.
Begitu banyak persoalan yang harus kita analisa dari segi Historis negeri ini, kenapa bencana alam datang bagaikan arisan, Aceh, Jogja, Jakarta, Papua, Kalimantan, hampir setiap daerah negeri ini. Korban harta benda dan jutaan nyawa hilang entah kemana. Belum puaskah mereka yang mengexploitasi hutan, pembalakan, pembakaran hutan, melihat kondisi seperti ini. Mereka yang selalu tertawa dengan style perut buncit, jas, dasi dengan rapinya sebuah style yang dicintai oleh rakyat. Tapi cinta rakyat dibalas dengan penindasan. Mereka yang mengambil kebijakan, menjual hutan, BUMN di privatisasi, kekayaan alam dijual ke negara-negara imperialis. Pantaskah negara yang punya kekayaan alam yang melimpah ruah rakyatnya kelaparan, makan nasi aking, busung lapar, gizi buruk???
By : Anggota Mapala Arga Tirta UPY
Salam ekologia!!!
Mari bersama serukan gerakan lingkungan!!!!!!
Hutan untuk kesejahteraan rakyat!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar